Friday 22 April 2011

Teater dan Hal-hal Lain di Luar Dirinya

by Yudi Ahmad Tajudin on Saturday, 02 October 2010 at 01:26

(versi lain tulisan ini, yang lebih ringkas, dimuat di harian Kompas, Minggu, 26 September 2010)

Ruangan itu adalah ruang dansa. Beberapa perempuan muda, dalam pakaian dansa yang menyala, menyambut penonton sejak dari pintu masuk dan mengantarkan mereka ke jajaran kursi yang mengelilingi ruangan. Ini ruang dansa. Lalu perempuan-perempuan muda itu, enam orang jumlahnya, mulai berceloteh. Sebagian besar tentang diri mereka sendiri.

Tidak berapa lama, beberapa dari mereka mengajak penonton berdansa. Sementara salah seorang dari mereka, seperti menyamar jadi lelaki --dengan kumis melintang dan segaris jenggot vertikal yang terbuat dari dua larik lakban pendek yang ditempelkan--, menenteng sebotol tequila, mendatangi penonton satu persatu. Kemudian ia meminta penonton untuk melucuti lapis-lapis pakaian yang ia kenakan. Jika ada yang tidak bersedia melakukannya, perempuan yang tidak menyembunyikan penyamarannya tersebut akan menuangkan tequila ke dalam dua gelas yang dibawanya, memberikan segelas pada penonton dan segelas yang lain ditenggaknya sendiri, sambil berkata: “Terima kasih, Anda telah menolak permintaan saya. Saya tidak tahu siapa di antara kita yang mendominasi dan terdominasi saat ini…”

Peristiwa di atas, yang saya saksikan melalui video dokumentasinya, adalah peristiwa pertunjukan berjudul Why Don’t You Dance yang dibuat dan dimainkan oleh She She Pop, artist collective yang didirikan tahun 1998 oleh 6 orang perempuan sebaya yang bertemu di sekolah yang sama, Institute of Applied Theatre Studies di Giessen, Jerman. 

Ilia Papatheodorou dan Lisa Lucassen, dua anggota kolektif yang menemani saya menonton video itu, lalu bercerita bahwa bagi mereka yang penting pertama kali dalam setiap karya adalah ide atau konsepnya.

“Tak satupun dari kami berenam yang memiliki latar belakang pelatihan spesialis sebagai aktor, atau sutradara, atau penulis. Ya, kami mempelajari itu semua, teori-teori dasarnya, juga teori-teori besar pertunjukan, sejarah seni, performance analysis, atau sejarah sastra Eropa. Sebagaimana kami juga belajar cara memasang lampu panggung, merancang program pengaturan lampu, merekam serta mengedit audio maupun audio-video, serta hal-hal teknis lain yang menjadi parameter pertunjukan,” ungkap Ilya.

Pada karya Why Don’t You Dance, paparnya lebih lanjut, mereka tertarik dan hanya berangkat dari ‘hubungan antara aktor dan penonton (spectactor) di dalam ruang’. Ketika mereka mulai memasuki ide tentang ‘hubungan’ itu, yang pertama mereka temukan adalah kenyataan bahwa mereka berenam adalah perempuan, yang segera mendapatkan tatapan (gaze) penonton yang memilah dan memaknai mereka dalam kerangka nilai dan pembedaan semacam: si A terlalu gemuk, si B lebih cantik, si C kurang tinggi, si D kulitnya bagus. Dari temuan itulah pertunjukan itu lalu mereka susun dan mainkan sebagaimana yang sedikit terpapar di atas.

Dua Kaki Dramaturgi dan Karakter yang Tak Lagi Diwakilkan pada Figur Dramatis

Pertemuan dan diskusi saya dengan She She Pop, adalah salah satu  agenda dalam observasi seni pertunjukan (teater dan tari) terkini di Jerman yang saya lakukan, atas undangan dan sponsor Goethe Institut, bulan Juli lalu. Observasi yang singkat, dengan agenda yang cukup padat, yang memberi saya kesempatan bertemu dengan beberapa ensemble dan kolektif seniman di Berlin, serta beberapa pengelola institusi yang memberi ruang dan mendorong pertumbuhan gagasan serta bentuk-bentuk baru seni pertunjukan di Jerman. Agenda observasi saya juga diisi dengan menyaksikan beberapa pertunjukan di Institute of Applied Theatre di kota Giessen serta di Festival Theatre der Welt di Essen.

Observasi yang kemudian memapar pada saya, bahwa sejak paruh pertengahan ‘90an, di Jerman lahir generasi baru seni pertunjukan (teater dan tari), yang tidak hanya menawarkan “kebaruan” dalam estetika pertunjukan tetapi juga pada sikap berkesenian serta pendekatan penciptaan.

Kata kebaruan pada paragraf di atas harus saya letakkan dalam tanda petik karena pengertiannya tidak lantas terkait dengan ambisi menciptakan bentuk-bentuk yang belum pernah, yang orisinal, sebagaimana ambisi yang dimiliki oleh seniman-seniman avant-garde di kisaran tahun 40-an sampai 60-an. Kebaruan estetika yang mereka tawarkan —mungkin kata yang lebih tepat adalah “kesegaran”— tercipta justru dari bagaimana mereka mendaur ulang dan memanfaatkan praktik, media serta bentuk-bentuk kesenian yang sudah ada, lalu dengan ringan hati me(mper)mainkan serta menempatkan praktik dan bentuk estetika itu dalam relasi-relasi baru berdasarkan konteks gagasan atau isu yang hendak mereka sampaikan. Gagasan dan isu yang lahir dari refleksi atas kenyataan-kenyataan hari ini.

Dalam karya-karya generasi baru teater di Jerman, tampak cukup jelas ada penekanan dan garis bawah yang tebal pada ‘komunikasi’ ketimbang ambisi artistik sebagaimana yang dimiliki oleh para avant-gardist.

Di samping pada karya-karya She She Pop, sikap dan pendekatan semacam itu juga terlihat, misalnya, pada karya-karya Gob Squad, kumpulan seniman (artist collective) yang lain, yang saya temui di Berlin. Karya-karya kolektif beranggotakan 6 orang yang tinggal terpisah di dua kota, Nottingham (Inggris) dan Berlin (Jerman), itu selalu menggunakan medium video. Mereka menyebutnya video-based performance.

Penggunaan medium video dalam ikut menyusun konstruksi dramaturgi suatu pertunjukan, kita tahu, telah banyak digunakan bahkan sejak tahun 70-an. Salah satu yang awal, dan terdepan, adalah Wooster Group di New York. Juga Dumb Type dari Jepang di tahun-tahun 80an akhir. Tetapi Gob Squad tidak hanya menggunakan video untuk sekadar membuat ilustrasi adegan, atau menjadi “bahasa” lain yang bersanding dengan bahasa verbal atau bahasa tubuh. Karya-karya pertunjukan mereka benar-benar bertolak dari karakter video sebagai suatu medium, dengan logika serta batas-batas peristiwa yang diturunkannya.

Karya Super Night Shots, misalnya, yang sedang on demand di berbagai festival seni pertunjukan maupun visual arts di Eropa, mereka buat dengan cara: 45 menit sebelum pertunjukan, 4 orang dari mereka keluar dari gedung pertunjukan, masing-masing membawa satu kamera video. Bermodalkan struktur perjalanan yang telah mereka sepakati sebelumnya, masing-masing menempuh jalur dan tugas yang berbeda; merekam tempat yang berbeda, mencegat orang yang mereka temui di perjalanan untuk diwawancarai dan diajak masuk terlibat ke dalam plot peristiwa yang telah mereka persiapkan.

Drama yang kemudian tercipta, yang direkam oleh kamera, adalah drama penuh kejutan dan ketakterdugaan. Kualitas serta perkembangan cerita benar-benar ditentukan oleh ekspresi orang yang mereka temui di jalan yang mereka cegat, juga seberapa terbuka atau seberapa rela orang-orang itu untuk diwawancarai atau diajak masuk ke dalam plot dramatik mereka.

Kemudian, pada menit-menit mendekati pertunjukan, mereka kembali ke gedung --tempat pertunjukan sebentar lagi digelar--, membawa drama yang baru saja mereka rekam dan ciptakan di sepanjang perjalanan 45 menit tadi. Penonton, yang telah hadir di gedung pertunjukan, diminta oleh anggota Gob Squad yang lain yang tinggal di gedung untuk menyambut mereka di lobby dan jalan masuk ke dalam panggung: untuk ikut menciptakan ending drama 45 menit yang sedang dibuat (tanpa penonton tahu dramanya, karena mereka belum menyaksikannya!).

Lalu, di atas panggung, masing-masing kaset video dari kamera yang dibawa oleh keempat anggota Bob Squad yang melakukan perjalanan 45 menit sebelumnya itu diputar, disunting dan diproyeksikan ke empat buah layar besar secara simultan. Diiringi musik yang telah dipersiapkan, penonton pun lalu menyaksikan drama 45 menit yang baru saja diciptakan dan direkam itu. Drama, yang endingnya juga ikut mereka susun bersama.

Dalam banyak pertunjukan yang diciptakan generasi seangkatan mereka (sedikit di atas mereka ada RenĂ© Pollesch atau kolektif Rimini Protokoll di ranah teater, atau Constanza Macras dan Anita Baehr di ranah tari)--, karakter-karakter utamanya adalah diri mereka sendiri. Atau, mereka memainkan karakter-karakter yang sangat mirip dengan diri mereka sendiri. Soal-soal, situasi-situasi dalam hidup, tidak lagi didelegasikan pada ‘figur-figur dramatik’ tetapi disampaikan sebagai soal-soal ‘seseorang yang nyata', bukan imajiner.

Dengan cara itu batas-batas di antara akting dan performance —antara representasi dan presentasi—, melebur.

Dan satu hal yang telah lama saya percayai seperti menemukan penegasannya yang baru. Bahwa dramaturgi, serta perkembangannya, kaki-kakinya berpijak pada, dan bertolak dari, dua dasar: referensi (sejarah, tradisi) estetika, dan refleksi atas dinamika perubahan kenyataan-kenyataan yang berlangsung di sekitar si seniman.

Cermin dan Kerangka yang Merawat serta Memberi Makna

Demikianlah, dalam observasi kecil saya di Jerman, saya menyaksikan betapa sejarah, tradisi-tradisi, serta infrastruktur kesenian menjadi “cermin” dan kerangka yang memberi makna. Juga merawat serta menjadi landasan bertolak bagi pencarian dan jelajah alternatif ungkapan yang lain. Alternatif-alternatif yang pada gilirannya kemudian ikut menyegarkan dan menjaga dinamika gagasan serta bentuk seni pertunjukan di Jerman.

Tak terhindarkan, seusai perjalanan di Jerman, saya lantas bertanya “cermin” dan kerangka makna macam apakah yang saya miliki di seni pertunjukan Indonesia?

Tetapi, biarlah pertanyaan itu menjadi pokok yang saya pikirkan jawabannya kemudian. Sekarang saya hanya ingin mengenang satu pertunjukan yang saya saksikan di Essen, kota terakhir di Jerman yang saya kunjungi.

Pertunjukan karya sutradara Itali, Romeo Castelucci, “On The Concept of The Face, regarding The Son of God, Vol. 1”, itu memapar betapa absurd kehidupan sehari-hari sesungguhnya. Bagian pertama menggelar drama sunyi tentang seorang lelaki separuh baya yang ingin berbakti pada bapaknya yang telah demikian tua dan tak berdaya. Ia memutuskan tidak jadi berangkat kerja, karena bapaknya terus menerus berak tanpa diinginkannya. Berkali-kali.

Lalu pertunjukan yang menghadirkan bau menyengat kotoran manusia itu diakhiri dengan masuknya dua puluhan anak-anak dan remaja. Dengan diam, mereka membuka tas mereka masing-masing. Tas yang ternyata berisi setumpuk granat. Lalu, masih dalam diam, masing-masing anak dan remaja itu melempari wajah tuhan yang terpampang di layar besar di belakang panggung dengan granat. Bertubi-tubi.

Dan suara ledakan bergema di seluruh sudut ruang….

Yudi Ahmad Tajudin
5 welcome & joy!: Teater dan Hal-hal Lain di Luar Dirinya by Yudi Ahmad Tajudin on Saturday, 02 October 2010 at 01:26 (versi lain tulisan ini, yang lebih ringkas, dimuat di harian Komp...

No comments:

< >
Rifqi Mansur Maya adalah seorang kreator audio visual dan hal-hal lintas disiplin seni di antaranya. Dalam blog resmi ini, kamu bisa melihat beragam arsip karya yang dikerjakan Rifqi Mansur Maya. Mari bekerjasama...