Pentas Teater Tubuh Ketiga
Kamis, 10 Maret 2011 | 17:07 WIB
TEMPO Interaktif, Yogyakarta
- Setelah menggelar pentas di Teater Salihara, Jakarta, tahun lalu,
sutradara Teater Garasi, Yudi Ahmad Tajudin, akan mementaskan kembali
lakon “Tubuh Ketiga: Pada Perayaan yang Berada di Antara” di Concert
Hall, Taman Budaya Yogyakarta, Jumat besok dan Sabtu lusa.
Pentas
ini adalah semacam esai tentang Tarling-Dangdut dan Indramayu.
Tepatnya, semacam perenungan dan penelusuran atas kebudayaan yang
terbentuk di ruang “antara”. Atas bentuk dan ekspresi kebudayaan
“ketiga”, yang tak lagi bisa dirumuskan dengan kategori dan
ukuran-ukuran yang pasti.
Sebagai
sebentuk kesenian yang berkembang di pesisir utara Jawa,
Tarling-Dangdut begerak di antara kebudayaan agraris dan industrial,
antara desa dan kota, antara yang tradisional dan modern. Tarling-
Dangdut juga problematis. Ia dianggap bukan seni tradisi tetapi juga
belum seni modern. Tapi di tengah posisi problematis itu ia terus tumbuh
menjadi penanda kota dan wilayah Indramayu.
Sebagai
sebuah kota, Indramayu tumbuh di antara pusat-pusat kebudayaan yang
saling menanamkan pengaruhnya—Jawa Tengah (Solo dan Yogyakarta), Jawa
Barat (Bandung), dan Jakarta yang merupakan pusat Indonesia modern. Ia
bisa dibaca sebagai desa sekaligus kota yang tumbuh di “ruang ketiga”.
Itulah
entitas kebudayaan yang tidak tumbuh dari satu definisi atau identitas
saja, tetapi tersusun dari pertemuan dan percampuran budaya-budaya yang
berbeda. Tubuhnya terbangun dari lapisan-lapisan. Karena itu ia hanya
bisa dipahami dengan berbagai pendekatan dan sudut pandang.
Sebagai
semacam esai, pertunjukan ini kemudian melihat, sebagaimana
Tarling-Dangdut dan Indramayu, dalam banyak hal Indonesia adalah (atau:
tersusun dari) entitas-entitas kebudayaan “ketiga”. Pertanyaan atau isu
penting yang kemudian muncul adalah: apa yang bisa kita lakukan (kita
ciptakan) dari dan dengan seluruh tradisi serta kebudayaan yang
membentuk kita?
Maka,
sebagai suatu pertunjukan karya ini adalah juga suatu perayaan atas apa
yang berada di antara. Perayaan (juga keberpihakan) atas sikap kreatif
yang rileks dalam berhadapan dengan sesilangan kebudayaan yang datang
dari mana-mana; dari luar maupun dari dalam, dari depan maupun dari
belakang. Sikap yang lebih produktif dan menghargai perbedaan ketimbang
fundamentalisme serta esensialisme identitas yang keras dan semakin
menyerang siapapun yang berbeda itu...
Dalam
pementasan drama ini, sutradara Yudi Ahmad Tajudin akan berkolaborasi
dengan sejumlah seniman lainnya, seperti Gunawan Maryanto, Hanny
Herlina, Ign. “Clink” Sugiarto, Jompet Kuswidananto, Sri Qadariatin,
Theodorus Christanto, Ugoran Prasad, Wangi Indriya, dan Yennu Ariendra.
Yudi
juga didukung oleh Adi Wisanggeni, Banjar Tri Andaru, Cahyo Dwi
Novianto, Darmanto Setiawan, Ega Kuspriyanto, Hindra Setyarini,
Irfanuddien Ghozali, Mohammad A. B., Kusworo Bayu Aji, Lusia Neti
Cahyani, MN. Qomarrudin, Nur Kholis, Rasmadi, Ratri Kartika Sari, Rifqi
Mansur Maya, Syamsul Islam, Yosef Herman Susilo, dan Yudha Wisnu
Wardana.
KALIM/Pelbagai Sumber
No comments:
Post a Comment