Sebuah Upaya Pulang dan Belajar dari Yogyakarta

Loka Carita, Nasraya, HONF, dan Pindai, sebagian besar nama itu terdengar asing di telinga saya, kecuali HONF yang sejak kuliah sudah saya ikuti dari jauh. Ternyata mereka kini berada di satu lokasi yang sama, dalam sebuah hub bernama Loka Carita, sebuah titik baru di Yogyakarta untuk menampung dan merawat kreativitas kota. Lokasi ini menjadi salah satu titik dari tur pemutaran film yang saya rancang bersama tim untuk pre-event Cherrypop Festival 2025 dengan memutarkan hasil film Rekam Skena (2022-2023) di lima lokasi berbeda di Yogyakarta.

Ngomongin ruang di Yogyakarta memang tidak ada habisnya. Sejak 2008 hingga 2024, saya merasa kota ini mengakomodasi hampir semua bentuk inisiatif artistik, bahkan yang hanya berangkat dari main-main anak muda seusia saya waktu itu. Pengalaman saya selama satu setengah dekade ini bisa saya petakan ke dalam tiga hal utama yang menjadi denyut nadi kota ini: ruang alternatif, kolektif kreatif, dan lintas disiplin.

Ruang alternatif di Yogyakarta tumbuh dari keterbatasan dan kebutuhan akan kebebasan. Dari rumah tinggal, garasi, hingga warung kopi, semua bisa disulap menjadi laboratorium sosial dan pusat eksperimentasi. Galeri Cemeti, MES 56, ACE House Collective hingga Rumah Kelas Pagi Yogyakarta adalah contoh bahwa ruang bukan soal bentuk fisik semata, melainkan keberanian untuk membangun ekosistem alternatif di luar kontrol yang lebih besar untuk belajar, tumbuh bersama hingga membuka kemungkinan seluas-luasnya untuk kegagalan.

Budaya kolektif di Yogyakarta adalah cara hidup. Lahir dari tradisi gotong royong, pengalaman gerakan mahasiswa, dan kegelisahan terhadap sistem seni yang timpang antara ruang formal yang belum cukup untuk mengakomodir luasnya imajinasi artistik seniman, kolektif seperti Teater Garasi, Lifepatch, dan Kunci bekerja berbasis riset, partisipasi, dan solidaritas. Melalui kolektif, seni menjadi kerja sosial dan pengetahuan menjadi milik bersama. Desentralisasi budaya ini justru memungkinkan keberlanjutan yang lebih organik dan adaptif.

Lintas disiplin adalah denyut lain dari Yogyakarta. Di kota ini, seniman bisa sekaligus peneliti, teknolog, atau aktivis. Batas antara seni, sains, dan kerja sosial sangat cair. Saya sendiri mengalami ini dalam perlintasan yang saya geluti; seni pertunjukan, video art, dan film. Ketiganya membentuk jaringan gagasan melalui tubuh, ruang, dan narasi. Di sinilah praktik seperti lecture performance, instalasi video, atau dokumenter bisa hidup dan berbicara dalam bahasa sosial masa kini.

Namun di tengah semua itu, tantangan baru muncul atau harus kita dekati dengan segera: dominasi ruang digital yang cepat, dangkal, dan penuh jebakan algoritma. Shit! Karena saya juga mengkonsumsi itu dengan sadar. Retensi perhatian di media sosial membuat pertemuan fisik semakin langka dan sulit. Maka solusi bukan sekadar membawa konten ke ranah digital, tapi merancang format hybrid yang secara konsep mendorong pertemuan kembali, tur mandiri, lokakarya berbasis arsip, atau portal daring yang justru jadi jembatan ke luring hingga sering nongkrong dan saling mengunjungi.

Kini saya sering berada di Cirebon, kota asal yang lama saya tinggalkan, tapi tak pernah benar-benar saya kenali secara utuh. Kepulangan ini bukan nostalgia, tapi upaya sadar untuk mengupayakan ruang bersama. Saya percaya, Cirebon memiliki kekayaan budaya yang sangat kuat: warisan pesisir yang hibrid, bahasa yang lentur, dan anak muda yang mulai mengekspresikan diri melalui berbagai medium. Tapi seperti kota lain di luar pusat, saya merasa masih minim inisiatif dan ruang yang memungkinkan tumbuhnya gagasan secara bebas. Mungkin karena saya baru 7 bulan juga di Cirebon, saya harus lebih giat main dan cari kerja.

Dari Yogyakarta, saya belajar bahwa ruang bisa dimulai dari obrolan di warung kopi, kolektif bisa tumbuh dari kegelisahan bersama, dan lintas disiplin bisa jadi cara bertahan di tengah kompleksitas zaman. Tapi saya juga belajar bahwa tidak semua harus dimulai dari nol, kita bisa menyulam dari yang sudah ada, menghubungkan yang tercerai, dan membangun dari dalam.

Hari ini, pemerintah sedang aktif mendorong sektor kreatif lewat berbagai bantuan dan program, dari Bekraf hingga Dana Indonesiana sekarang ini. Ini tentu membuka peluang, tapi juga menimbulkan pertanyaan: apakah bantuan ini akan membuat inisiatif ekosistem kreatif ini hidup, atau justru menumbuhkan ketergantungan? Di Yogyakarta, semangat independensi tumbuh ketika negara absen. Kini, dengan hadirnya sokongan negara, tantangannya adalah menjaga agar inisiatif tetap mandiri, kritis, dan tidak tersandera oleh syarat-syarat birokrasi yang kaku. Bagaimana Cirebon? Mari kita urai pelan-pelan nanti.

Maka tulisan ini saya tutup bukan dengan kesimpulan, tetapi dengan pertanyaan: Bagaimana kita bisa menciptakan ruang alternatif yang tumbuh dari dalam? Bagaimana kolektif bisa hidup tanpa harus bergantung pada pusat? Dan bagaimana lintas disiplin bisa menjadi jalan keluar dari keterkotakan wacana dan praktik inisiatif main-main kita hari ini?

Pertanyaan-pertanyaan ini bukan untuk dijawab sendiri, tapi untuk kita pikirkan dan upayakan bersama agar ekosistem budaya kita tidak hanya bertahan, tapi juga terus hidup, kritis, dan relevan.

Saya harus berterima kasih pada footages yang saya rekam sendiri terkhusus di bagian ruang Loka Carita, sehingga pikiran-pikiran ini tiba-tiba muncul dan merasa harus segera ditulis di blog ini. Trims mas Adnan dkk Loka Carita. Trims teman-teman Cherrypop Festival 2025 yang masih percaya saya untuk menjalankan program Rekam Skena ini. Tabik!

No comments: