Beberapa waktu lalu saya mendapatkan pengalaman yang cukup berkesan: menonton pertunjukan teater untuk pertama kalinya di Cirebon. Menariknya, pertunjukan ini tidak digelar di ruang pertunjukan konvensional, melainkan di Jatiwangi Art Factory (JaF) — sebuah ruang kreatif yang sudah lama saya dengar gaungnya, tetapi baru kali ini saya benar-benar menginjakkan kaki ke sana.
Kesempatan ini datang karena ajakan dari Mas Ozi Sabbit, kawan saya yang saat ini juga sedang bekerja bersama dalam Festival Komunitas Seni Media (FKSM) yang akan berlangsung di Cirebon pada pertengahan November 2025 nanti. Ajakan sederhana itu ternyata membuka pintu pengalaman yang hangat sekaligus membuka perspektif baru tentang dunia teater, seni pertunjukan, dan ruang-ruang alternatif di sekitar kita.
Pertunjukan yang saya saksikan adalah sebuah monolog berjudul Bagus Rangin. Kisahnya diangkat dari sejarah lokal tentang tokoh perlawanan rakyat Cirebon, dan disutradarai oleh Ade Bedoel — sosok yang tak asing di dunia teater Cirebon. Ia merupakan pendiri Teater Tjaroeban, sekaligus juga bagian dari Teater Roemput Cirebon, dua kelompok teater yang sering menghadirkan karya-karya berbasis riset sejarah, sosial, dan tradisi lokal. Dengan narasi yang kuat, energi panggung yang intens, dan ruang JaF yang unik, pengalaman menonton malam itu terasa begitu dekat sekaligus menggugah.
Bagi saya, ini bukan hanya sekadar pengalaman menonton teater, melainkan juga sebuah perjumpaan dengan cara lain untuk membaca sejarah, seni, dan identitas lokal. Ditambah lagi, atmosfer Jatiwangi Art Factory dengan segala keramahan orang-orang di dalamnya membuat momen itu semakin berkesan. JaF sendiri sudah dikenal luas sebagai ruang budaya berbasis komunitas yang lahir di Majalengka. Mereka banyak bekerja dengan medium tanah, musik, arsitektur, dan riset sosial, hingga nama JaF kini mendunia sebagai contoh bagaimana desa bisa menjadi pusat imajinasi seni global.
Kehadiran pertunjukan ini juga seperti jembatan menuju FKSM 2025 di Cirebon. FKSM sendiri merupakan festival seni media yang berpindah kota setiap tahunnya:
- 2022 — Bengkulu, digelar di Taman Budaya Bengkulu.
- 2023 — Mataram, NTB, menghadirkan sekitar 20 komunitas dari berbagai daerah.
- 2024 — Makassar, Sulsel, berlangsung di Benteng Rotterdam dengan lebih dari 50 seniman.
- Dan kini, pada 2025, giliran Cirebon yang menjadi tuan rumah. Rangkaian road to FKSM sudah berjalan sejak pertengahan tahun, dan puncaknya akan digelar pada November 2025 di kawasan Pelabuhan Muara Jati (PT Pelindo), Cirebon. Pantau IG @fksm.indonesia
Monolog Bagus Rangin yang saya tonton malam itu bukan hanya pertunjukan seni. Ia bekerja sebagai semacam ingatan kolektif yang menggedor kesadaran: bagaimana relasi rakyat dan negara, sejak masa kolonial hingga hari ini, kerap ditandai oleh ketidakadilan dan represi.
Bagus Rangin, dalam kisah sejarahnya, adalah simbol perlawanan rakyat Cirebon terhadap kolonial yang menindas. Tetapi ketika kisah itu dipanggungkan kembali di Jatiwangi Art Factory, ia bergema lebih luas: seolah-olah berbicara tentang bagaimana rakyat selalu berada di posisi tertekan, sementara kuasa negara (atau mereka yang bersekutu dengan kekuasaan) terus mengulang pola dominasi dan kekerasan.
Saya tidak bisa menonton pertunjukan ini tanpa teringat kericuhan demo hari-hari ini di Indonesia. Jalanan kembali dipenuhi suara mahasiswa, buruh, dan warga yang marah. Mereka menolak kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada rakyat, mereka melawan sistem yang semakin menutup telinga terhadap aspirasi. Dan pola yang sama terus berulang: suara rakyat dihadapi dengan aparat, dengan represi, dengan stigma, seakan-akan keberanian bersuara adalah ancaman.
Di titik ini, saya merasa teater hadir bukan sekadar hiburan, melainkan medan tanding lain dalam perlawanan. Seni menjadi ruang untuk mengingat bahwa sejarah perlawanan rakyat tidak pernah selesai. Ia bergerak dari medan perang Bagus Rangin, ke jalan-jalan Cirebon tempo dulu, lalu kini bergema di jalanan Jakarta, Bandung, Yogya, dan kota-kota lain yang dipenuhi gas air mata dan teriakan demonstran.
Pertunjukan malam itu menegaskan sesuatu yang penting: negara bisa saja berulang kali menekan suara rakyat, tapi seni akan selalu menemukan cara untuk menghidupkan kembali ingatan dan keberanian itu. Dari panggung kecil di Jatiwangi hingga kerumunan besar di jalan raya, denyut perlawanan tetap ada. Bagus Rangin, setidaknya malam itu, hadir bukan sebagai kisah masa lalu, melainkan sebagai pengingat keras: bahwa rakyat tidak pernah benar-benar diam, dan seni adalah salah satu jalannya untuk terus melawan lupa.
Di sini saya bagikan beberapa foto dan vlog sederhana dari pertunjukan tersebut. Semoga bisa sedikit menyampaikan rasa kagum sekaligus semangat yang saya rasakan semalam.
Selamat menikmati, welcome & joy! Dan tentu saja, terus pantau blog serta YouTube saya untuk cerita-cerita perjalanan berikutnya. Jangan lupa subscribe, ikuti terus, dan sampai jumpa di blog selanjutnya!
Foto lengkap satuan ada di Facebook saya: https://www.facebook.com/share/p/1BvF3C67rx/
Karya foto lain saya bisa di lihat di sini: https://sites.google.com/view/rmmphotos/
No comments:
Post a Comment