Bertemu teman lama dan baru lalu membuat sesuatu di tempat yang asing selalu menjadi hal yang saya sukai. Dalam pekerjaan ini, hal itu terjadi lagi. Semangat yang muncul dari hal-hal kecil dan remeh-temeh sering kali datang tak terduga, tapi disisi lain kita juga tahu bahwa hal itu pasti akan muncul di waktu yang tepat. Catatan ini saya tulis sebagai pengingat pribadi tentang apa yang saya lakukan beberapa minggu lalu di Cilacap, bersama kawan-kawan Cilacap Kreatif dan Kolektif Barokah. Kolektif yang terakhir ini sudah saya kenal sepak terjangnya sejak 2023, ketika kami membuat film untuk Rekam Skena Cherrypop Festival.
Semuanya bermula pada 8 September 2025. Sebuah pesan muncul di layar, berisi ajakan untuk membersamai sebuah festival kecil di wilayah yang besar, Cilacap, melalui gelaran Tjilatjap International Film Festival (Tjif) oleh Cilacap Kreatif bersama Semesta Buku dari Gramedia. Waktunya cukup menantang, hanya dua bulan persiapan. Tapi dari pengalaman saya, dua bulan sering kali cukup untuk menyalakan sesuatu yang berarti, asal ada semangat yang tidak cepat padam.
Langkah pertama saya justru bukan rapat, tapi menonton konser. Booster semangat sebelum semuanya sat-set. Kami menonton Majelis Lidah Berduri (Melbi) di Hetero Space Purwokerto, acara kolektif Heartcorner (Purwokerto). Dari situ, titik awal Banyumas Raya mulai terbuka. Saya bertemu teman-teman baru, juga teman lama yang dulu hanya terhubung lewat dunia maya/nyata. Ada teman dari Kolektif Pancaroba (Banjarnegara), Hellofriends (Purbalingga), dan beberapa nama baru yang saya kenal langsung di venue. Bahkan pelanggan Tutbek pun ikut nyapa. Di momen itu, saya sadar: jaringan kreatif di wilayah non-strategis seperti ini ternyata hidup, hangat, dan punya energi yang tak kalah dengan kota besar.
Perjalanan pulang-pergi dari Cilacap–Purwokerto-Cilacap menjadi ruang belajar tersendiri. Terima kasih untuk Sigit, Piing, dan Marco yang dalam satu mobil tak berhenti bercerita tentang kota dan ekspresi anak-anak mudanya. Dari mereka, saya paham bahwa Cilacap bukan hanya tentang laut dan industri, tapi juga tentang daya cipta yang besar, sekencang angin pesisir dan sekuat gelombang selatan. Ada sesuatu yang liar tapi jujur dalam setiap obrolan malam mereka, sesuatu yang membuat saya percaya bahwa kreativitas memang tidak pernah lahir di tempat yang nyaman.
Geliat anak muda di Cilacap itu besar, benar-benar besar. Sebesar badai, sehangat kopi tengah malam, seberisik obrolan di warung pinggir jalan sembari ditemani warna-warni lampu kota dan sisa di sloki jadi candu yang gak bikin lepas sama kota ini. Dari dinding mural di sudut kota, lintasan skateboard dan BMX, hingga agensi media sosial dan kelompok kreator konten, semuanya berdenyut. Mereka sadar betul, meski tinggal di ujung selatan Jawa Tengah, mereka punya hak untuk bersuara, berkarya, dan menuliskan sejarahnya sendiri. Cilacap, meskipun tidak strategis di peta ekonomi kreatif nasional, punya semangat yang terasa nyata di jalan-jalan dan warung-warungnya. Sedikit ke barat sudah beda pulau, sedikit ke selatan sudah lautan lepas menuju Australia dan mungkin justru karena itu, keberanian mereka terasa lebih tulus, liar dan kencang.
Menjahit semua semangat itu menjadi tiga hari festival bukan hal yang mudah. Paket data jadi senjata utama, layar ponsel jadi kantor, dan koordinasi lintas kabupaten di Banyumas Raya menjadi ujian tersendiri. Tapi di antara semua tantangan itu, ada rasa bangga yang pelan-pelan tumbuh. Karena ternyata, banyak hal besar bisa lahir dari tempat-tempat yang dianggap kecil. Dan teman-teman di Cilacap sudah terbiasa menghadapi gelombang semacam ini, dengan cara mereka yang hangat dan penuh solidaritas.
Selama proses ini, saya banyak terhubung dengan ruang dan orang baru: Paragraf Coffee, Ananta Coffee (Arteri.Cees semangat dengan nama & ruang barunya, ya), Dakota Cinema, Warung Santunan, mas Romi, mbak Rere (Gramedia Cilacap), mas Ambon, mbak Nov, mas Sambo (semangat ke Dubai, ya!), mas Dewa, mas Arif, mas Har, mbak Nov, mbak Nurul, Atika, mas Kem, mas Gabas, mas Ari, mas Dawud dan istri, mas Topik (Sangkan Paran), mas Aming (Bising Visual Kolektif), mas Reno, mas Papakibo Mural, bapak dan ibu Sigit+Istri+Akbar dari 4 Real Archive Crew, hingga stasiun Kroya dan KAI yang sempat membuat saya ketiduran sampai Karawang. Semuanya seperti satu simpul besar yang membentuk peta baru: peta tentang pertemuan, kerja sama, dan semangat untuk membuat sesuatu di tempat yang sering dianggap jauh dari pusat.
Kepada teman-teman muda yang mungkin juga tinggal di wilayah yang disebut “tidak strategis”, percayalah bahwa batas geografis tidak akan pernah bisa membatasi gagasan. Justru di tempat-tempat seperti itulah, ide tumbuh liar dan jujur, tanpa terbebani citra dan tren yang kadang membutakan kota besar. Kita hanya perlu terus bertemu dan menuliskan cerita dari tempat kita berdiri, sendiri maupun bersama-sama.
Kita sudah melawan, seperti biasanya, dengan cara yang juga seperti biasanya: bersama, seadanya, tapi penuh daya. Sampai jumpa di simpang lainnya dan maaf jika banyak tertawa.
Tabik & salam,
rmm
*Semua foto oleh: Nurridwan Pangestu, temennya mas-mas biasa, Dismas Panglipur (link foto lengkap-selected)
*Vlogs yang terakam selama proses berlangsung:
Blog ini bagian dari kerja saya di Pehagengsi sebagai Project Manager. Cek selengkapnya di sini: https://pehagengsi.blogspot.com/2025/11/tjif-fest-2025-bagaikan.html


No comments:
Post a Comment